MAKLUMAT PELAYANAN ::
DENGAN INI, KAMI BERJANJI AKAN MEMBERIKAN PELAYANAN SESUAI DENGAN STANDAR PELAYANAN PERADILAN YANG TELAH DITETAPKAN, DAN APABILA TIDAK MENEPATI JANJI INI, KAMI SIAP MENERIMA SANKSI SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU

img_head
ARTIKEL

POLITIK HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG PIDANA MATI DALAM KUHP BARU

Des04

Konten : artikel hukum
Telah dibaca : 11.984 Kali

Oleh : AINAL MARDHIAH, S.H., M.H.


Pemerintah Indonesia telah melakukan pembaharuan hukum pidana dengan disahkannya Undang-Undang No 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada tanggal 2 Januari 2023.  Misi KUHP baru adalah  adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi, baik dalam perkembangan bidang ilmu hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar dan norma yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia Internasional. Untuk mewujudkan misi tersebut pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislative) meyusun dan membahas KUHP Baru dalam kodifikasi dan unifikasi untuk menciptakan dan menegakan  konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban, kemanfaatan dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat, kepentingan Individu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu nilai, standar dan norma yang diharmonisasikan dengan perkembangan nilai, standar dan norma yang diakui bangsa-bangsa di dunia Internasional adalah mengenai Norma, Standar tentang Hukuman Mati. Dalam KUHP baru hukuman mati sebagai hukuman dengan masa percobaan sedangan dalam KUHP yang lama hukuman mati merupakan salah satu dari pidana pokok.

Dalam KUHP lama ada dua jenis pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok tersebut meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Kemudian, pidana tambahan meliputi pencabutan hak-hak tertentu, penyitaan benda-benda tertentu, dan pengumuman dari putusan hakim. Sedangkan dalam KUHP Baru jenis pidana diatur dalam Pasal 64 terdiri dari  pidana pokok, pidana  tambahan dan  pidana yang bersifat khusus untuk  tindak pidana tertentu. Selanjutnya Pasal 65 menetapkan pidana pokok sebagaimana  yang dimaksud   dalam Pasal 64 huruf  a terdiri dari: pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan , pidana    denda dan pidana kerja sosial.  Untuk Pidana Tambahan diatur dalam  Pasal 64 huruf b diatur dan kemudiab dalam Pasal 66 ditetapkan terdiri dari  pencabutan hak tertentu. perampasan barang tertentu dan/ atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, Pencabutan izin tertentu, dan pemenuhan kewajiban adat setempat. Untuk jenis Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c  diatur lebih lanjut dalam  Pasal 67 bahwa pidana yang bersifat khusus sebagaimana yang dimaksud Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang diancam secara alternatif dengan masa percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 100.

Pasal 100 KUHP Baru  menyebutkan:

  1. Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:
    1. Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau;
    2. Peran terdakwa dalam tindak pidana;
  2. Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)    harus dicantumkan dalam putusan pengadilan;
  3. Tenggang waktu masa percobaan 20 tahun dimulai 1 (satu) hari setelah putusan    pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap;
  4. Jika terpidana selama masa percobaan dimaksud pada ayat (1) menunjukan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana matidapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung;
  5. Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dihitung sejak Keputusa Presiden ditetapkan;
  6. Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak menunjukan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Berdasarkan uraian Pasal tersebut  diatas sangat jelas KUHP Baru mengatur hukuman mati berbeda dengan KUHP lama. Menurut  KUHP Baru seorang terpidana mati tidak begitu saja dapat dieksekusi mati. maka pidana mati tidak lagi menjadi pidana  pokok melainkan menjadi pidana khusus  dalam hal tertentu seperti Narkotika, Terorisme, Korupsi dan HAM. Eksekusi mati baru dilakukan sebagai upaya  terakhir setelah semua persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 100 KUHP Baru dipenuhi.

Dengan diundangkannya KUHP Baru menunjukkan politik hukum pidana Indonesia telah menerapkan dan menjunjung tinggi HAM. Hal ini selaras dengan persepektif dunia Internasional tentang  Hak Asasi Manusia yang diatur dalam International Covenant  On  Civil an Political Right  (ICCPR) Tahun 1966 yang mengatur hak untuk hidup. Pasal 6 ayat 1 ICCPR menyebutkan “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”. Selanjutnya Pasal Pasal 6 ayat 2 menyatakan “bagi negara yg belum menghapus ketentuan pidana  mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yg termasuk katagori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan  Ini dan convention on prevention and Punishment of crime of genocide”. Pidana tersebut hanya dapat dilaksanakan merujuk pada putusan  final yang   diputuskan oleh pengadilan yang berwenang. Karena  hukuman mati sangat berkaitan erat dengan hak hidup (the right to life) yang merupakan mahkota HAM.

Pengaturan Internasional Tentang Hukuman Mati Hukum Internasional belum tegas melarang penerapan hukuman mati secara mengikat bagi semua negara di dunia, sehingga saat ini baru diatur mengenai pembatasan penerapan hukuman mati. Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik ICCPR Pasal 6 Ayat 2 hanya mengatur pembolehan penerapan hukuman mati dengan syarat khusus.  Beberapa syaratnya antara lain  hanya untuk kejahatan sangat serius (the most serious crimes), sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan dilakukan, tidak bertentangan dengan ICCPR dan the Convention on  the Prevwntion and Punishment of the Crime of Genocide, serta hanya dapat dilaksanakan atas dasar putusan final oleh pengadilan yang berwenang.

Pengaturan tegas mengenai penghapusan hukuman mati baru mulai dituangkan dalam The Second Optional Protocol to the ICCPR yang diadopsi tahun 1989 dan berlaku tahun 1991. Namun protokol tersebut hanya berlaku bagi negara pihak yang telah meratifikasinya. Indonesia salah satu negara yang telah meratifikasi ICCPR melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan ICCPR (Lembar Negara RI tahun 2005 Nomor 119 , TLN RI Nomor 4558). Namun Indonesia belum meratifikasi the second optional Protocol to ICCPR.

Pembatasan hukuman mati mencakup jenis kejahatan tertentu seperti  narkoba, ekonomi, korupsi, hal ini dikekecualikan dengan klasifikasi orang  seperti anak-anak , perempun hamil  dan prosedur menerapkan hukuman mati berdasarkan putusan pengadilan yang merupakan  pilihan terakhir. Menurut Barda Nawawi Arief  penyusunan KUHP Baru tidak dapat dilepaskan dari ide/ kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yg berlandaskan Pancasila sebagai nilai nilai kehidupan kebangsaan  yg dicita citakan.

Pada prinsipnya agamapun memberi ruang untuk menghukum mati atas  perbuatanya, namun hukuman mati diberikan dalam rangka untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak bisa kembali ke masyarakat karena kejahatan yang dilakukan termasuk dalam kualifikasi kejahatan luar biasa seperti beberapa jenis kejahatan diantaranya  genocide dan kejahatan kemanusiaan (extra ordinary). Undang-Undang  Nomor  21 Prp Tahun 1959 tentang Tindak Pidana Ekonomi Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang  Pengadilan HAM secara  tegas mengakomodir hukuman pidana mati. 

Ketika pelaksanaan hukuman mati dilakukan beberapa tahun yang lalu di Indonesia terhadap  terpidana Narkotika yaitu Freddy    Budiman   (WNI) dan 3 ( tiga ) orang WNA) masing masing bernama Humprey Jefferson , Michael Titus Igweh , keduanya  berasal dari Nigeria dan Seck Osmane asal Afrika Selatan, PBB, Amnesti Internasional, Uni Eropa, Komnas HAM dan berbagai LSM beraksi kritis mengapa pemerintah Indonesia masih melaksanakan hukuman mati yang jelas sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 3 yaitu hak untuk hidup "every one has the right to life, liberty and security of person".

Sebelum  ICCPR, pada  saat dideklarasikan DUHAM Universal Declaration  of Human Right  Tahun 1948 baru hanya ada 6 atau 7 negara yang menghapuskan hukuman mati. Kini  sebanyak 103 negara telah tercatat menghapuskan hukuman mati untuk   segala bentuk tindak pidana, 7 negara untuk pelaku tindak pidana umum dan 50  negara menjalankan moratorium eksekusi hukuman mati. Namun demikian  sampai  tanggal 10 Oktober 2022 masih ada  37 negara yang tetap   memberlakukan hukuman mati, termasuk  di dalamnya  Indonesia.

Reaksi masyarakat dunia terhadap pelaksanaan hukuman mati di berbagai negara ada yang mendukung (retentionist) dan juga yang menolak (abolisionis), namun beberapa negara yang masih melaksanakan hukuman mati yaituseperti negara Tiongkok, Arab Saudi, Iran, Amerika Serikat dan Indonesia. Tiongkok adalah  negara yang paling banyak melaksanakan hukuman mati  jumlahnya ribuan atau 60 % dari hukuman mati di dunia. Sedangkan Amerika Serikat dan Arab Saudi pelaksanaan  hukaman mati tercatat ratusan kali. Indonesia tercatat sudah puluhan kali, khususnya untuk tindak pidana terorisme, narkotika dan pembunuhan berencana.

Dibenua Eropa tercatat seluruh negara sudah menghapus bukuman mati seperti Australia, Cananda, amerika dan sebagian wilayah Asia. Filipina salah satunya  sebagai negara yang sudah menghapus hukuman mati dalam sistem hukum pidana mereka, kemudian diberlakukan kembali namun dihapus lagi.

Negara-negara di seluruh dunia semakin banyak yang ikut menghapus hukuman mati karena sebagian negara dalam membuat perjanjian regional maupun ekstradisi atau perjanjian penanggulangan korupsi dan sebagainya juga mempersyaratkan tidak boleh ada hukuman mati . Sebagai contoh negara Turki dalam Uni Eropa terganjal karena Turki ternyata masih   mempertahankan  hukuman mati di Negaranya. Beberapa negara menolak hukuman dan atau menghapus hukuman mati karena:

  1. Bersandar pada argumen moral/ agama bahwa Tuhan yang menghidupkan manusia dan Tuhan pulalah yang berhak mencabut hidup tersebut;
  2. Efektifitas hukuman mati rendah;
  3. Bahwa kenyataannya sistem peradilan pidana yang masih lemah dan banyak kekurangan yang sangat mungkin melahirka n korban korban yang tidak bersalah yg harus dijatuhi hukuman mati;
  4. Hukuman mati bertentangan dengan HAM, khususnya hak hidup.

Sedangkan beberapa negara yang masih mendukung hukuman mati diantaranya Indonesia  karena :

  1. Sebagaimana  pada tahun 2007 pernah diuji materiil ke MK atas hukuman mati yang termuat dalam UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika, putusan desenting opinion MK mennyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi karena UUD 1945  tidak menganut kemutlakan hak  asasi manusia;
  2. Hukuman mati melindungi korbantindak pidana;
  3. Secara normatif hukuman mati dapat dijadikan upaya untuk mendukung penanggulanga. Kejahatan, dimanamakin seriusnya tingkat kejahatan yang dilakukandengan super sadis membuat masyarakat luas masih menganggaphukuman mati tetap diperlukan.bagaimana jika tidak ada hukuman mati, sedangkan masih ada hukuman mati saja kejahatan semakin banyak dan semakin sadis;
  4. Sejatinya hukum jangan berpihak kepada hak asasi pelaku kejahatan, tetapi juga hak korban kejahatan harus diperhatikan juga;
  5. Hukuman mati saat ini masih diperlukan di Indonesia karena secara normatif hukuman mati saat ini masih merupakan hukumpositif dan ketika sudah ada terpidana oleh pengadilandijatuhi hukuman mati maka menurut hukum hal tersebut harus dilaksankan untuk kepastian hukum;
  6. Seharusnya Indonesia tidak perlu tunduk pada tekanannegara lain karenaindonesia harus menegakan kedaulatan di bidang hukum sendiri.

KUHP Baru menggunakan  pendekatan alternatives to death penalty  terhadap pidana hukuman mati dalam pelaksanaanya karena tidak bisa langsung  di eksekusi, terpidana diberikan masa percobaan dalam jangka waktu masa tertentu yaitu (10) tahun,  jika terpidana terbukti menunjukan suatu perbaikan prilaku. Dan memenuhi sejumlah syarat, hukuman berubah menjadi seumur hidup. Hukuman mati bukanlah  lagi menjadi  hukuman pokok, melainkan hukuma pokok yang bersifat khusus dan bersifat alternatif. Dengan adanya syarat tertentu tersebut terhadap hukuman mati dapat disimpulkan bahwa hukuman mati merupakan sesuatu hal yang tidak dapat diberlakukan secara pasti sehingga harus dihindari. Walaupun sebagian masyarakat indonesia  masih mendukung hukaman mati karena  adanya tindak pidana pembunuhan sadis dengan berbagai motif dan cara yang sangat bertentangan dengan HAM tidak terkecuali tindak pidana Narkoba karena efeknya  merusak masa depan anak  bangsa Indonesia.

Berdasarkan uraian diatas dengaan berlakunya KUHP baru Indonesia masih mempertahankan jenis hukuman mati dengan kekhususannya. Hakim sesuai fakta dipersidangan masih bisa menjatuhkan hukuman mati dengan alasan tingkat kejahatan yang dilakukan terdakwa melampui batas-batas hak asasi manusia . Hanya saja dalam pelaksanaanya tidak begitu saja dieksekusi sebab masih ada  masa tertentu untuk memastikan apakah hukuman mati tersebut dilaksanakan atau tidak  yaitu adanya perbaikan prilaku dari terpidana. Untuk mengukur indikator penilaian terhadap perubaan perilaku tersebut menjadi salah satu syarat penting bukan hanya sekedar seperti surat keterangan biasa seharusnya  setara dengan putusan dan penetapan hakim, sebab dalam proses ini ada kegiatan memeriksa, memperrimbangkan dan memutuskan terhadap perubahan perilaku tersebut.
 
 

Sumber : https://www.pt-nad.go.id/