
MENINGKATKAN KEUNGGULAN PERADILAN:
PENTINGNYA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN HAKIM
DALAM HUKUM PERUBAHAN IKLIM DAN LINGKUNGAN
BAGI HAKIM YANG BARU DIANGKAT
Oleh: FACHRIAN RIZKI, S.H. LL.M.
PENDAHULUAN
Salah satu tantangan yang muncul dan dihadapi oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah ketidakseimbangan antara jumlah hakim dan persentase beban perkara yang ditangani oleh pengadilan di seluruh Indonesia. Rekrutmen hakim, dengan proses seleksi yang ketat dan kompleks, telah dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk mengatasi kekurangan hakim, namun ketidakseimbangan tersebut tetap berlanjut. Rekrutmen ini menghasilkan Calon Hakim yang telah dibekali Pendidikan dan Pelatihan Hakim yang memadai untuk memahami hukum materiil dan formil.
Di satu sisi, Pendidikan dan Pelatihan Hakim tersebut telah disiapkan dengan berbagai cakupan mata pelajaran hukum materiil dan formil, termasuk mata pelajaran yang seharusnya diajarkan dalam Pendidikan dan Pelatihan Hakim bagi Hakim Karier, misalnya Mediasi dan Sistem Peradilan Pidana Anak, namun materi tersebut hanya dianggap sebagai pengantar. Di sisi lain, Pendidikan dan Pelatihan Hakim tidak mencakup seluruh mata pelajaran pengantar bagi Calon Hakim. Mengingat bahwa mata pelajaran tersebut akan bermanfaat bagi Calon Hakim setelah pengambilan sumpah jabatan mereka sebagai Hakim yang Baru Diangkat, dalam hal ini mata pelajaran Hukum Perubahan Iklim dan Lingkungan mencakup pemahaman dasar dalam menangani perkara litigasi terkait perubahan iklim dan lingkungan.
Fenomena perubahan iklim bukanlah hal baru, dan telah membawa dampak signifikan bagi individu maupun lingkungan di seluruh negeri. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah perkara perdata, pidana, atau administrasi yang diajukan oleh individu, organisasi, atau dalam beberapa kasus pemerintah terhadap pihak-pihak seperti korporasi atau negara karena gagal memenuhi peraturan lingkungan atau turut berkontribusi terhadap pelanggarannya. Namun, pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi hanya pada perkara perdata dan pidana, mengingat makalah ini bersifat penelitian sementara yang nantinya akan ditulis dengan pendekatan yang lebih mendalam.
Berdasarkan catatan Sulistiawati, pada periode 2010 hingga 2020, terdapat sedikitnya 80 perkara pidana terkait perubahan iklim dan 14 perkara perdata terkait perubahan iklim (yang diakui sebagai Litigasi Perubahan Iklim) yang diajukan ke pengadilan di seluruh Indonesia (Sulistiawati, 2024). Mengingat litigasi perubahan iklim semakin marak di Indonesia, dengan kemungkinan besar diajukan ke Pengadilan Negeri Kelas II tempat Hakim Baru Diangkat bertugas, hal ini menciptakan situasi di mana Hakim Baru Diangkat dapat ditunjuk sebagai Majelis Hakim sebagai bentuk pengecualian terhadap hukum acara yang berlaku dalam mengadili perkara lingkungan (Perma 1/2023), karena kekurangan hakim yang dialami oleh Mahkamah Agung, meskipun mereka belum memiliki sertifikasi sebagai Hakim yang Mengkhususkan Diri dalam Hukum Lingkungan.
Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Hukum Perubahan Iklim dan Lingkungan bagi Hakim Baru Diangkat akan sangat bermanfaat agar mereka siap menghadapi perkara-perkara tersebut, sehingga putusan yang dihasilkan dapat menciptakan dampak yang lebih luas dan signifikan. Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dijelaskan “Pentingnya Pendidikan dan Pelatihan Hukum Perubahan Iklim dan Lingkungan bagi Hakim Baru Diangkat” untuk memberikan pandangan mengenai signifikansi pendidikan dan pelatihan tersebut dalam rangka meningkatkan keunggulan peradilan.
IDENTIFIKASI MASALAH DAN TUJUAN
Mengingat sifat makalah ini sebagai bentuk awal dari sebuah makalah, maka pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi pada litigasi domestik terkait perubahan iklim dan hukum lingkungan yang relevan, serta keterkaitannya dengan peningkatan keunggulan peradilan. Dalam hal ini, Identifikasi Masalah dalam makalah ini mencakup beberapa pertanyaan, yaitu: (i) apa saja kebutuhan untuk menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan Hukum Perubahan Iklim dan Lingkungan bagi Hakim Baru Diangkat? dan (ii) apakah Pendidikan dan Pelatihan Hukum Perubahan Iklim dan Lingkungan dapat meningkatkan keunggulan peradilan?
Sehubungan dengan Identifikasi Masalah tersebut, timbul pula beberapa Tujuan dari makalah ini, yaitu: (i) mengetahui kebutuhan dalam penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Hukum Perubahan Iklim dan Lingkungan bagi Hakim Baru Diangkat; dan (ii) mengetahui apakah Pendidikan dan Pelatihan Hukum Perubahan Iklim dan Lingkungan dapat meningkatkan keunggulan peradilan. Selain itu, diharapkan bahwa makalah ini, setidaknya, dapat memberikan pandangan untuk pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum Perubahan Iklim dan Lingkungan bagi Hakim Baru Diangkat di masa mendatang.
PEMBAHASAN
Laporan Global Climate Litigation Report 2023 dari United Nations Environment Programme (selanjutnya disebut Laporan UNEP 2023) menilai tren litigasi perubahan iklim yang dapat tercermin dari isu-isu berikut: (i) penggunaan “hak iklim” dalam litigasi perubahan iklim; (ii) penegakan hukum domestik; (iii) menjaga bahan bakar fosil dan penyerapan karbon tetap berada di dalam tanah; (iv) tanggung jawab dan kewajiban korporasi; (iv) pengungkapan iklim dan praktik greenwashing; dan (v) kegagalan beradaptasi serta dampak dari adaptasi. Uraian ini menunjukkan bahwa litigasi perubahan iklim tidak hanya terbatas pada istilah “perubahan iklim” sebagai istilah yang digunakan dalam perkara, melainkan juga dapat terindikasi apabila salah satu dari enam indikator tersebut muncul di pengadilan. Demikian pula, Peel dan Osofsky menegaskan bahwa terdapat empat lingkaran yang merepresentasikan perkara perubahan iklim dalam litigasi (Peel dan Osofsky, 2020). Pertama, First Circle, yang merepresentasikan perubahan iklim sebagai isu utama dalam perkara, artinya perubahan iklim dibahas secara langsung sebagai pokok perkara. Kedua, Second Circle, yang merepresentasikan perubahan iklim sebagai isu tambahan, ditandai dengan kondisi di mana perubahan iklim tidak dibahas secara langsung sebagai isu utama. Ketiga, Third Circle, yang merepresentasikan perubahan iklim sebagai motivasi tetapi tidak diangkat sebagai isu, misalnya perkara terhadap batu bara yang diajukan atas dasar alasan lingkungan. Terakhir, Fourth Circle, yang merepresentasikan litigasi tanpa kerangka perubahan iklim secara khusus, namun memerlukan mitigasi atau adaptasi terhadap lingkungan yang terdampak. Konsep ini menunjukkan bahwa perubahan iklim tidak selalu menjadi alasan utama dalam litigasi, namun tetap dapat muncul secara eksplisit sebagai pelengkap isu utama, yang umumnya terkait dengan isu lingkungan.
Laporan UNEP 2023 mengungkapkan bahwa di Indonesia, hingga 31 Desember 2022, terdapat 12 perkara litigasi perubahan iklim, menjadikan Indonesia salah satu dari 10 yurisdiksi dengan jumlah perkara kumulatif terbanyak, di luar Amerika Serikat dan Uni Eropa (UNEP Report, 2023). Namun, menurut Sulistiawati, jumlah litigasi terkait perubahan iklim di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan data yang dilaporkan Laporan UNEP 2023. Sulistiawati menemukan bahwa pada periode 2010 hingga 2020, jumlah perkara yang terkait dengan perubahan iklim di Indonesia mencapai 80 perkara, di mana 75% di antaranya diajukan ke Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia (Sulistiawati, 2024). Menariknya, Sulistiawati mencatat bahwa perubahan iklim disebutkan dalam dakwaan formal; argumentasi para pihak; bukti yang diajukan; keterangan ahli; pertimbangan hakim; dan putusan (Sulistiawati, 2023), sehingga angka litigasi terkait perubahan iklim di Indonesia mencapai 80 perkara dalam periode tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak asing dengan litigasi perubahan iklim, yang kini semakin berkembang dan menjadi tantangan, bukan hanya bagi individu dan masyarakat terdampak, tetapi juga bagi pemerintah (dalam konteks makalah ini, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam menangani litigasi perubahan iklim di pengadilan).
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup mengatur bahwa perkara lingkungan hidup, termasuk litigasi perubahan iklim, hanya dapat diadili oleh hakim yang memiliki sertifikasi di bidang hukum lingkungan atau hakim senior ex officio yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri (Perma 1/2023). Namun, peraturan tersebut memberikan pengecualian, karena kekurangan hakim, yang memungkinkan perkara lingkungan dapat diadili oleh majelis hakim dengan komposisi minimal satu hakim bersertifikasi hukum lingkungan, atau oleh hakim senior yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri. Pengecualian ini menjadi celah bagi Hakim Baru Diangkat untuk terlibat dalam mengadili perkara litigasi perubahan iklim, meskipun belum memiliki keahlian khusus di bidang hukum perubahan iklim dan lingkungan, dan kemungkinan besar kurang memiliki pengetahuan di bidang tersebut. Kondisi ini berpotensi menurunkan kualitas pertimbangan hukum dan putusan, bahkan berisiko menurunkan kualitas keadilan lingkungan.
Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung, melalui para hakimnya (khususnya Hakim Baru Diangkat), dapat berkontribusi dalam memerangi perubahan iklim dan kerusakan lingkungan melalui pertimbangan hukum dan putusan yang baik dalam litigasi terkait perubahan iklim. Pertimbangan hukum dan putusan yang matang dapat berkontribusi langsung pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) (UNESC, 2024), sebagai bentuk pengaruh terhadap kebijakan dan solusi hukum. Hal ini sejalan dengan pendapat Nevitt yang menyatakan bahwa perubahan iklim “bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga ancaman keamanan nasional yang kompleks dan multidimensi,” yang berarti kegagalan menerapkan kebijakan dan solusi hukum untuk mengatasi perubahan iklim akan secara drastis mengubah lingkungan fisik (Nevitt, 2020). Pertimbangan hukum dan putusan yang matang mencerminkan pemahaman dan pengetahuan yang mendalam dari majelis hakim dalam perkara litigasi terkait perubahan iklim. Oleh karena itu, Pendidikan dan Pelatihan Hukum Perubahan Iklim dan Lingkungan bagi Hakim Baru Diangkat menjadi sangat penting untuk dilaksanakan.
Pendidikan dan Pelatihan memiliki peran khusus bagi hukum dan masyarakat, yang juga harus disadari oleh pemegang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung. Peran tersebut penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui putusan pengadilan domestik (dalam makalah ini, Pengadilan Negeri) (Young, 2021). Hakim William H. Alsup dari Northern District Court of California, sebagaimana dikutip oleh Young, menegaskan bahwa semua individu telah berkontribusi terhadap pemanasan global, sehingga secara kolektif akan menanggung konsekuensinya (Young, 2021), yang berarti setiap orang, termasuk pemerintah, memiliki tanggung jawab untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam menghadapi perubahan iklim dan mencegah dampak buruknya.
Bagi Mahkamah Agung, tindakan yang diperlukan dapat berupa putusan yang disertai pertimbangan hukum yang matang, dengan argumen bahwa spesialisasi hukum dapat menghasilkan solusi hukum yang berpengaruh. Oleh karena itu, disarankan agar Hakim Baru Diangkat dibekali dengan Pendidikan dan Pelatihan Hukum Perubahan Iklim dan Lingkungan yang memadai untuk membiasakan diri dan mempersiapkan mereka dalam menangani litigasi terkait perubahan iklim di masa depan. Bahkan, menurut Young, Pendidikan dan Pelatihan tersebut harus “menggabungkan perspektif kritis, yang mendorong evaluasi etis dan moral serta kesadaran strategis” (Young, 2021). Pada akhirnya, melalui putusan yang lebih luas dan berdampak, diharapkan keunggulan peradilan dapat meningkat ke tingkat yang lebih memuaskan.
KESIMPULAN
Ketidakseimbangan antara jumlah hakim dan meningkatnya beban perkara yang diajukan ke pengadilan di seluruh Indonesia telah menjadi tantangan yang berkelanjutan bagi Mahkamah Agung, sehingga mendorong Mahkamah Agung memberikan pengecualian terhadap hukum acara yang berlaku, termasuk hukum acara dalam mengadili perkara lingkungan hidup. Peluang bagi Hakim Baru Diangkat untuk mengadili perkara lingkungan hidup tetap terbuka lebar akibat kondisi saat ini, meskipun mereka belum memiliki spesialisasi di bidang hukum lingkungan.
Selain itu, Laporan UNEP 2023 serta catatan Sulistiawati mengungkapkan adanya peningkatan jumlah litigasi terkait perubahan iklim di Indonesia selama dekade terakhir yang diajukan ke Pengadilan Negeri di seluruh wilayah. Oleh karena itu, untuk menghadapi kondisi tersebut, makalah ini menjelaskan urgensi penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan yang mencakup mata pelajaran hukum perubahan iklim dan hukum lingkungan, guna memberikan pemahaman dan pengetahuan yang lebih luas kepada Hakim Baru Diangkat agar mereka siap menangani litigasi terkait perubahan iklim dan lingkungan di masa depan. Dengan demikian, diharapkan putusan yang dihasilkan akan memiliki pertimbangan hukum yang matang sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih luas dan berdampak signifikan terhadap litigasi perubahan iklim, sebagai bentuk solusi hukum dalam menangani isu perubahan iklim. Pada akhirnya, putusan dengan pertimbangan hukum yang baik tersebut diharapkan dapat meningkatkan keunggulan peradilan.
REKOMENDASI
Untuk mewujudkan peningkatan keunggulan peradilan, sangat direkomendasikan agar Mahkamah Agung menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan Hukum Perubahan Iklim dan Hukum Lingkungan bagi Hakim Baru Diangkat. Materi pengajaran sebaiknya tidak hanya terbatas pada pengenalan, tetapi juga mencakup aspek hukum materiil dan formil dari litigasi terkait perubahan iklim dan hukum lingkungan. Selain itu, disarankan agar Pendidikan dan Pelatihan ini melibatkan kerja sama dengan akademisi lingkungan, lembaga pemerintah, dan organisasi non-pemerintah yang relevan, mengingat kerja sama tersebut dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan yang lebih luas kepada Hakim Baru Diangkat melalui berbagi pengetahuan dan studi kasus yang relevan.
DAFTAR PUSTAKA
- Artikel Jurnal
Jacqueline Peel and Hari M. Osofsky, ‘Climate Change Litigation’ (2020), Annual Review of Law and Social Science.
Linda Yanti Sulistiawati, ‘Climate change-related Litigation in Indonesia’ (2024), Communications Earth & Environment.
Margaret A Young, ‘Climate Change and Law: A Global Challenge for Legal Education’ (2021), University of Queensland Law Journal.
Mark Patrick Nevitt, ‘On Environment, Climate Change, & National Security Law’ (2020), Harvard Environmental Law Review.
- Laporan Komisi Hukum
Law Division United Nations Environment Programme, ‘Global Climate Litigation Report: 2023 Status Review’ (2023), UNEP.
United Nations, ‘Progress towards the Sustainable Development Goals’ (2024), UNGA ECOSOC.
- Naskah Kerja
Linda Yanti Sulistiawati, ‘Climate change-related Litigation in Indonesia: The Dawn of a New Beginning?’ (2023), APCEL-NUS Law.
- Peraturan
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
ELEVATING JUDICIAL EXCELLENCE:
THE IMPORTANCE OF JUDICIAL EDUCATION AND TRAINING
IN CLIMATE CHANGE AND ENVIRONMENTAL LAW FOR
THE NEWLY APPOINTED JUDGES
By: FACHRIAN RIZKI, S.H., LL.M.
BACKGROUND
One of the emerging challenges experienced by the Supreme Court of Indonesia is the imbalance between the number of Judges and the percentage of caseloads handled by Courts throughout Indonesia. Judicial recruitment, with rigorous and complex recruitment processes, has been held on a five-year cycle to fulfil the judicial shortage, yet the imbalance persists. Such recruitment brought about Judicial Candidates who have been prepared with proper Judicial Education and Training to comprehend both the substantive and procedural law. On the one hand, such Judicial Education and Training have been prepared with various scopes of substantive and procedural law subjects, including the subjects that should be taught at the Judicial Education and Training given for Professional Judges, exempli gratia, Mediation and Juvenile Criminal Justice System, yet the subjects are only considered as an introduction. On the other hand, the Judicial Education and Training do not cover all the introductory subjects for the Judicial Candidates. Considering that they would be advantageous to the Judicial Candidates after their judicial oath-taking ceremony as the Newly Appointed Judges, in this instance the Climate Change and Environmental Law subject covers foundational understanding in dealing with climate change-related litigation and environment litigation.
It is not a recent phenomenon that climate change has brought significant impact against individuals and the environment across the nation, proven by the increasing and the ongoing civil, criminal or administrative cases addressed by individuals, organisations or, in some cases, governments against entities such as corporations and states for failing to fulfil the environmental regulations or for contributing to it. However, the discussion of this Paper will be limited to the civil and criminal cases only, seeing that this Paper is just a temporary research Paper that would be written in a more thorough approach.
By referring to the account of Sulistiawati, during the period of 2010 to 2020, there are at least 80 criminal cases related to climate change and 14 civil cases related to climate change (which are recognised as the Climate Litigations) brought before the Courts across Indonesia (Sulistiawati, 2024). Given that, the climate change litigations are widely emerging in Indonesia, with a high possibility to be filed before the Second-Class District Courts in which the Newly Appointed Judges will be assigned. This leads to the circumstance in which Newly Appointed Judges could be appointed as the Panel of Judges as a form of exemption to the applied procedural law in adjudicating environmental cases (Perma 1/2023), due to the judicial shortage experienced by the Supreme Court of Indonesia, even though they are not yet certified as Judges Specialising in Environmental Law. Therefore, it is presumed that the deployment of Judicial Education and Training in Climate Change and Environmental Law for the Newly Appointed Judges could be highly beneficial so that the Newly Appointed Judges would be prepared for such cases so that the judicial decisions would create broader and impactful outcomes.
Based on the aforementioned background, it is necessary to elucidate “The Importance of Judicial Education and Training in Climate Change and Environmental Law for the Newly Appointed Judges”, to provide viewpoints on the significance of such Judicial Education and Training for the purpose of elevating judicial excellence.
PROBLEM IDENTIFICATIONS AND OBJECTIVES
Given the nature of this Paper as a primary form of Paper, therefore, the discussion of this Paper will be limited to the domestic climate change-related litigation and the relevant environmental law as well as the correlation to the elevation of judicial excellence. In this regard, the Problem Identifications of this Paper comprise of several questions, namely: (i) what are the necessities to deploy Judicial Education and Training in Climate Change and Environmental Law for the Newly Appointed Judges? And (ii) whether Judicial Education and Training in Climate Change and Environmental Law may elevate judicial excellence?
In connection with the determined Problem Identifications, there also arise several Objectives of the Paper, namely: (i) to acknowledge the necessities in deploying Judicial Education and Training in Climate Change and Environmental Law for the Newly Appointed Judges; and (ii) to discover whether Judicial Education and Training in Climate Change and Environmental Law may elevate judicial excellence. It is also expected that this Paper, at the very least, may provide viewpoints for the development of Judicial Education and Training for the Newly Appointed Judges at a near future.
DISCUSSIONS
The United Nations Environment Programme’s Global Climate Litigation Report 2023 (hereinafter referred to as UNEP Report 2023) assesses the trend of climate litigation that could be reflected by these issues that have arisen, namely: (i) the use of ‘climate rights’ in climate litigation; (ii) domestic enforcement; (iii) keeping fossil fuels and carbon sinks in the ground; (iv) corporate liability and responsibility; (v) climate disclosure and greenwashing; and (vi) failure to adapt and the impact of adaptation. Such an account indicates that the climate change litigation is not only limited to the term ‘Climate Change’ as a term used in the litigation, however, the climate change litigation may also be indicated if any of the six given indicators arise before the Court. Similarly, Peel and Osofsky underline that there are four circles that represent the cases of climate change in litigation (Peel and Osofsky, 2020). Firstly, the First Circle which represents climate change as the central issue in litigation, meaning that climate change is directly addressed as the main issue in the litigation. Secondly, the Second Circle which represents climate change considered as a peripheral issue, indicated by the circumstance that the climate change does not directly address as an issue in the litigation. Thirdly, the Third Circle which represents climate change as one motivation but not raised as an issue, for instance, cases against coal brought on environmental grounds. While the last circle, the Fourth Circle represents litigation with no specific climate change framing, but it requires mitigation or adaptation to the impacted environment. The conception points out that climate change should not always be the main reason in the litigation, yet the climate change issue is still explicitly addressed as the supplement to the main issue, which is most likely related to the environmental issues.
The UNEP Report 2023 disclosed that in Indonesia, as of 31 December 2022, there are 12 cases of climate change litigation, which is ranked as one of the top 10 jurisdictions with the highest number of cumulative cases, excluding the United States of America and the European Union (UNEP Report, 2023). However, by referring to Sulistiawati, the numbers of climate change-related litigations in Indonesia are a lot more compared to the reported data by the UNEP Report 2023. Sulistiawati finds that during 2010 to 2020, the number of cases related to climate change in Indonesia counted as much as 80 cases, of which 75% of the cases were filed before the District Courts across Indonesia (Sulistiawati, 2024). Interestingly, Sulistiawati observes that the climate change was mentioned in either a formal accusation; parties’ argumentation; submitted evidence; experts' testimony; Judges’ consideration and the judgment (Sulistiawati, 2023), making the climate change-related litigation in Indonesia jump as much as 80 cases within the specified period of time. These mean that Indonesia has never been a stranger to the climate change litigation, in which it is emerging and becoming a challenge not only for the affected individuals and societies but also for the government (in the context of this Paper, the Supreme Court of Indonesia in handling the climate change-related litigation before the Courts).
The Supreme Court Regulation No. 1 of 2023 on the Guidelines for Adjudicating Environmental Cases regulates that the environmental cases, including climate change-related litigation, may only be adjudicated by Judges specialising in environmental law or Senior Judges ex officio appointed by the Chief Judge of the District Court. Nonetheless, such Supreme Court Regulation provides exclusion, due to the judicial shortage, to the regulation stating that the environmental cases could be adjudicated by the Judicial Panel with a composition of at least one Judge specialising in environmental law, or by Senior Judges appointed by the Chief Judge of the District Court (Perma 1/2023). Such exclusion becomes a passthrough to the Newly Appointed Judges to be involved in the adjudication of the climate change-related litigation, notwithstanding that the Newly Appointed Judges are not specialising in climate change and environmental law and are most likely to lack of knowledge in climate change and environmental law. This circumstance could create a decline in the quality of the judicial consideration and judgments, worst still it could also create a downturn in the environmental justice.
As the holder of judicial power, the Supreme Court, through its Judges (more specifically, the Newly Appointed Judges), may contribute to combatting climate change and environmental damages through their well-reasoned judicial consideration and judgments in the climate change-related litigation, seeing that the well-reasoned judicial consideration and judgements may contribute more directly to the sustainable development goals (UNESC, 2024), as the form of influencing policy and legal solutions. This is in line with Nevitt’s account which argues that climate change “is not just an environmental issue. It is also a complex and multifaceted national security threat”, saying that the failure to implement policy and legal solution to combatting climate change will shockingly transform the physical environment (Nevitt, 2020). Such well-reasoned judicial consideration and judgments reflect the thorough understanding and knowledge of the Panel of Judges in the issue of climate change-related litigation. Therefore, in this instance, the Education and Training in Climate Change and Environmental Law for the Newly Appointed Judges is necessary to take place.
Education and Training have a special role for law and society that should also be aware by the holder of judicial power, id est the Supreme Court. It is due to its role in mitigating the climate change through the case law from Domestic Courts (by means of this Paper, the District Courts) (Young, 2021). Judge William H. Alsup of the Northern District Court of California, as cited by Young, emphasises that all individuals have been contributing to the global warming, making them will collectively bear its consequences (Young, 2021), meaning that everyone, including the government itself, has a responsibility to take any necessary actions to deal with climate change and to hinder its impactful consequences.
On the side of Supreme Court, the necessary actions could be in the form of judicial decision with well-reasonings, arguing that legal specialisation may bring about influential legal solutions. Therefore, it is suggested that the Newly Appointed Judges should be prepared with proper Education and Training in Climate Change and Environmental Law to familiarise themselves and to prepare them in dealing with climate change-related litigations in the near future. Indeed, in accordance with the account of Young, such Education and Training must ‘incorporate a critical perspective, which encourages ethical and moral evaluations as well as strategic awareness’ (Young, 2021). Eventually, through the broader and impactful judicial decisions, it is expected that the judicial excellence could be elevated to a more pleasing degree.
CONCLUSION
The imbalance between the number of Judges and the escalating caseloads filed before the Courts throughout Indonesia has been an ongoing challenge to the Supreme Court, leading the Supreme Court to provide exemptions to the applied procedural laws, including the procedural laws in adjudicating environmental cases. The possibility for the Newly Appointed Judges to adjudicate such environmental cases remains widely open due to the current circumstance, notwithstanding that they are not yet specialised in environmental law. Moreover, the UNEP Report 2023 as well as Sulistiawati’s account have disclosed the increasing numbers of climate change-related litigations in Indonesia for the last decade filed before the District Courts across the nation. Therefore, in dealing with such circumstance, this Paper elaborates the urgencies in deploying Education and Training which consist of climate change and environmental law subjects offering broader understanding and knowledge of the Newly Appointed Judges so that they may be prepared for the climate change-related litigations and environmental litigations in the future. Consequently, it is expected that the given judicial decisions would be well-reasoned as to provide broader and impactful contributions to the climate change-related litigations as a form of legal solutions in dealing with climate change issues. Finally, such well-reasoned judicial decisions may eventually lead to the elevation of judicial excellence.
RECOMMENDATION
As to realise the elevation of judicial excellence, it is strongly recommended that the Supreme Court may deploy the Education and Training in Climate Change and Environmental Law for the Newly Appointed Judges. The teaching materials should go beyond introductory content, covering both substantive and procedural aspects of climate change-related litigations and environmental law. Moreover, it is also suggested that Education and Training would involve partnership with environmental scholars, relevant governmental and non-governmental organisations, considering that such a partnership may provide broader understanding and knowledge of the Newly Appointed Judges through knowledge sharing and relevant case studies.
BIBLIOGRAPHY
- Journal Articles
Jacqueline Peel and Hari M. Osofsky, ‘Climate Change Litigation’ (2020), Annual Review of Law and Social Science.
Linda Yanti Sulistiawati, ‘Climate change-related Litigation in Indonesia’ (2024), Communications Earth & Environment.
Margaret A Young, ‘Climate Change and Law: A Global Challenge for Legal Education’ (2021), University of Queensland Law Journal.
Mark Patrick Nevitt, ‘On Environment, Climate Change, & National Security Law’ (2020), Harvard Environmental Law Review.
- Law Commission Reports
Law Division United Nations Environment Programme, ‘Global Climate Litigation Report: 2023 Status Review’ (2023), UNEP.
United Nations, ‘Progress towards the Sustainable Development Goals’ (2024), UNGA ECOSOC.
- Working Paper
Linda Yanti Sulistiawati, ‘Climate change-related Litigation in Indonesia: The Dawn of a New Beginning?’ (2023), APCEL-NUS Law.
- Regulations
Supreme Court Regulation No. 1 of 2023 on the Guidelines for Adjudicating Environmental Cases.